Selasa, 22 September 2009

SEDIH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikh Fudhail bin Iyad,ra., berkata bahwa : ‘Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan yang panjang.’

Semua manusia tentu pernah merasakan kesedihan, lalu dengan apa kualitas kesedihan itu bisa diukur? Pertanyaan ini terdengar absurb, namun seseorang bisa melihat apakah dalam kesedihannya ada ratapan kepada Tuhan atau terhadap dunia. Nah, bilamana ratapan kepada Tuhan mendominasi kesedihannya maka kualitasnya semakin baik, dan sebaliknya, semakin buruk bila ratapan tertuju kepada dunia. Oleh karenanya, tatkala Yusuf,as., dikabarkan wafat oleh saudara-saudaranya, orang tuanya, yakni Nabiyullah Yakub,as., meratap dengan kerasnya dan membuat matanya menjadi rabun, sebagaimana firman Allah SWT : 'Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).’ (QS 012 : 84)

Penderitaan, penyakit, kesedihan atau rasa sakit yang merisaukan adalah tentara-tentara Allah SWT guna mengampuni dosa-dosa manusia, anehnya, setiap manusia yang terjangkit salah satu darinya malah memohon kepada Allah untuk segera melenyapkannya. Seperti anak kecil yang menolak minum air susu ibundanya, padahal itu untuk kesehatannya, untuk pertumbuhannya dan untuk kekebalannya terhadap serangan penyakit. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Semakin engkau banyak melakukan dzikir-dzikir semakin sering engkau dihinggapi rasa sedih dan semakin banyak pula air mata bercucuran.’ Dan beliau berkata : ‘Berdzikir Jahr-lah diwaktu Subuh sebanyak 2000X dan diwaktu Magrib sekurang-kurangnya 2000X, lalu rasakan perubahan didalam jiwamu.’ Sudah banyak murid yang melaksanakan perintah ini, dan benar! Jiwa ini mudah tersentuh dan mata ini mudah sekali meneteskan air mata, khususnya bila menyebut atau mendengar Ismudzat (Allah) atau berbagai nama lain yang indah dari Rasul Allah, serta nama para masyaikh terdahulu dan tentunya nama guru tercinta, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya). Ini sebuah bukti bahwa, kesedihan bisa diusahakan, oleh karenanya para sufi mengelompokkannya kedalam sebuah 'maqom' bukan 'hal'.

Kesedihan adalah sifat para akhli penempuh jalan keruhanian, sedangkan kealpaan adalah sifat manusia awam pada umumnya. Dengan kesedihan, Allah SWT bermaksud menyelamatkan hati orang-orang mukmin dari lembah kealpaan. Sedangkan orang awam semakin jauh tersesat karena yang dicari adalah kesenangan. Kesedihan adalah kendaraan untuk menempuh perjalanan dalam waktu satu hari yang biasa ditempuh oleh orang awam dalam waktu satu tahun. Dalam Kitab Taurat disebutkan : ‘Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menempatkan sesuatu penyedih dalam hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan-Nya sebuah seruling dalam hatinya (keinginan untuk bernyanyi).’ Sedih bagaikan raja, bilamana ia menduduki tahta kerajaan hati, maka tidak ada lagi ruang yang tinggal bersamanya. Jika raja meninggalkan tahta, maka lambat laun kekuatan ruhaninya akan roboh.

Jika diperumpamakan bahwa ruh adalah makrokosmos dan badan ini adalah mikrokosmos, maka mendung adalah kesedihan, meskipun alam semesta tampak gelap dan berduka, namun air hujannya ditunggu bumi, guna menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menghidupi semua makhluk. Begitu pula kesedihan, walaupun menyesakkan dada namun setiap airmata yang menetes Allah akan mengampuni setiap dosa-dosa yang dibuatnya. Imam Sary as-Saqoti,ra., berkata : ‘Aku ingin seandainya, kesedihan seluruh manusia dimuka bumi ini ditimpakan kepadaku.’ Dikatakan bahwa Rasulullah,saw., selalu berada dalam keadaan bersedih dan merenung sepanjang kehidupannya, sebagaimana firman Allah SWT : ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.'(QS 009 : 128) Begitu pula Syaikh Hasan al-Basri,ra., dan Syaikh Fudhail bin Iyad,ra., sehingga tatkala mereka wafat, sahabat-sahabatnya berkata : ‘Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.’

Senin, 21 September 2009

TIDUR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.’

Setelah bulan Ramadhon berlalu, orang awam akan berusaha mengganti waktu tidur dan makannya yang berkurang selama satu bulan penuh, karena merasa berat badannya turun dan wajahnya agak memucat. Jarang sekali yang mempertahankan pekerjaan malamnya, yakni shalat dan tidur sedikit, lalu disiang harinya berpuasa. Meskipun Rasulullah,saw., mengingatkan agar tidak mengendur bermujahadah dibulan Syawal, dengan mengerjakan puasa sunat paling tidak enam hari lamanya, boleh dikerjakan berturut-turut sejak hari lebaran kedua, ataupun dihari lainnya. Rasulullah,saw., juga bersabda bahwa orang yang mengerjakan puasa sunat dibulan Syawal enam hari lamanya, nilainya sama dengan berpuasa selama satu tahun penuh. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Beberapa rukun kewalian tercermin pada pekerjaan dibulan Ramadhon, yakni terjaga dimalam hari, shalat malam, sedikit bicara, dzikir yang terus menerus dan berpuasa disiang hari.’ Maka orang-orang yang istiqomah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini, tidak saja dibulan Ramadhon, tetapi juga dibulan-bulan lain, maka ia telah bersender kepada kewalian. Para syaikh, pemimpin tarekat sufi, biasa membimbing murid-muridnya untuk selalu tidak lengah dalam melakukan serangkaian tindak ibadah ini. Agar mereka merasakan kegaiban hatinya tatkala tersinari oleh cahaya kewalian, agar merasakan musyahadat, agar merasakan kehadiran Tuhan (hudurul Haq), agar merasakan selalu diawasi oleh Allah SWT, dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Tetapi awas! jangan pernah berburuk sangka, bahwa dengan memberitakan sebagian tentang rukun kewalian, ingin diakui bahwa ia yang memberitakannya adalah seorang wali Allah, seperti halnya hadits yang mengatakan bahwa mimpi yang benar adalah satu dari empat puluh enam tanda kenabian, dan bukan berarti orang yang telah mimpi kebenaran itu adalah seorang nabi.

Dua sifat yang tidak ada pada Allah SWT namun dominan pada manusia adalah makan dan tidur, Allah tidak makan malah Dia yang memberi makan semua makhluk, dan juga Allah tidak tidur tapi Dia yang menidurkan semua makhluk. Semua syaikh sufi sepakah bahwa makan banyak adalah tindakan tidak terpuji, dan orang yang hanya berpikir tentang apa yang masuk kedalam perutnya, hanya seharga dengan apa yang keluar darinya (kotoran). Maka makan berlebihan adalah tindakan paling berbahaya bagi penempuh jalan tasawuf, khususnya bagi pemula, karena bila perutnya penuh ia menginginkan kebodohan dan nafsunya bertambah besar, serta jiwa rendahnya bangkit mencari kesenangan-kesenangan.

Seseorang mestilah melihat kedalam diri, apakah ia pernah berperang kepada musuh yang paling nyata baginya, yakni syaithon, apakah ia pernah membuat syaithon bersedih karena tindakannya? Tanpa disadari, ketika ia ‘tidur’, syaithon jengkel dan geram kepadanya, oleh sebab itu, ia mengganggu orang awam dalam tidurnya dengan mimpi-mimpi yang buruk, agar segera bangun dan berbuat kejahatan. Karena bila orang awam tidur, orang-orang akan terhindar dari tingkah laku kejahatannya, yang berarti ia berhenti mendurhakai Tuhannya. Jadi jelas sekali bahwa bagi orang awam, tidur lebih baik dari terjaganya, karena ada hadist yang meriwayatkan bahwa pena tidak mencatat (kelakuan-kelakuan buruk) orang yang tidur hingga ia bangun. Sedangkan tidurnya orang arif adalah suatu tindak ibadah, karena hati orang arif terkendalikan oleh Tuhan baik ketika dia tidur atau bangun, dan bilamana hati terkendalikan, badan pun terkendalikan juga. Karena itu, kalbu yang dikendalikan oleh kuasa Tuhan lebih baik daripada hawa nafsu manusia yang mengendalikan gerakan-gerakan lahiriyahnya dan tindak-tindak peniadaan nafsu diri. Bukankah saat Nabiyullah Adam,as., tertidur tiba-tiba Hawa sudah ada disamping kirinya, dan hawa adalah sumber semua penderitaannya. Secara simbolik kisah ini dikaitkan dengan terciptanya ‘jiwa (nafs)’ mewakili Hawa manakala ‘Ruh’ mewakili Adam,as., tertidur. Dan ‘jiwa (nafs)’ ini dipercaya sebagai tempat berkumpulnya semua keinginan-keinginan manusia yang selanjutnya oleh masyarakat Islam identik dengan sebutan ‘hawa nafsu’ atau keinginan diri.

Pada tingkat mujahadah bagi pemula, tidur dibolehkan tatkala rasa kantuk yang berat mengusiknya, atau paling tidak ia sudah beberapa kali tertidur disaat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tarekatnya, meskipun para syaikh menyebutnya sebagai mujahadahnya anak kecil. Tetapi lebih baik tertidur dalam keadaan berperang daripada tidur tanpa berperang. Dikatakan bahwa tidur adalah saudara kematian, dan Allah SWT menggenggam ruh orang yang tidur. Maka orang yang mengharapkan musyahadat merasa malu jika tidur tanpa didahului oleh tindak mujahadah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Pada awalnya, penjelajahan kedalam 18.000 alam ghaib terjadi disaat antara tertidur dan terjaga.’ Tertidur dalam peperangan adalah keberserahan diri kepada Tuhan, karena keinginannya adalah tetap dalam keadaan terjaga, namun kehendak Tuhan menggantikan kehendaknya, sedangkan tidur sebelum perang adalah menuruti hawa nafsunya, karena keinginannya adalah tidur. Oleh sebab itu, meskipun dalam keadaan mengantuk, para pejalan tetap mengambil air wudlu lalu shalat malam dan mengerjakan dzikir-dzikirnya khususnya dzikir yang tidak berbunyi dengan menyebut ismudzat Allah ... Allah .... sampai ia tertidur dalam keadaan duduk bersila. Dalam hal ini Rasulullah,saw., pernah bersabda : ‘Barang siapa tidur dalam keadaan bersuci (berwudhlu), ruhnya diperkenankan mengelilingi singasana (Arasy) dan bersujud dihadapan Tuhan.’ Dan “Sesungguhnya Allah bangga dengan hamba-Nya yang tidur selagi ia bersujud dalam shalat. Dan Dia mengatakan kepada para malaikat-Nya, ‘Lihatlah hamba-Ku, yang ruhnya ada ditempat keramah tamahan rahasia (najwa) sementara badannya ada di atas sajadah.’” Seseorang bisa bercermin dari keterangan diatas, apakah ia termasuk orang yang tidurnya lebih baik dari terjaganya, atau sebaliknya terjaganya lebih baik dari tidurnya, yakni tidurnya akan menganiaya agama dan terjaganya akan menyingkirkan kezaliman.

Kisah, seorang syaikh selalu dalam keadaan terjaga diamalam hari selama empat puluh tahun, namun ia belum juga ‘bertemu’ dengan Tuhannya. Lalu Syaikh Dzun Nun al-Mishri,qs., memerintahkan ia untuk tidur dimalam hari, perintah ini dikerjakannya, dan pada saat ia tertidur, ia bermimpi ‘bertemu’ dengan Tuhan dan ia bertanya kepada Tuhan : ‘Yaa Tuhan mengapa selama empat puluh tahun aku bermujahadah dengan terjaga dimalam hari untuk bertemu dengan-Mu namun tak kunjung tiba, tetapi begitu aku tertidur dimalam hari ini saja justru engkau berkenan menemuiku? Tuhan menjawab : ‘Engkau tidak akan menemui-Ku disini jika tidak mencari-Ku disana.’ Ini sebuah bukti bahwa keberserahan kepada Tuhan mestilah diawali dengan tindak mujahadah yang sungguh-sungguh, dan jika seseorang berserah kepada Tuhan tanpa tindak mujahadah adalah sia-sia. Nah, bila seseorang menyadari bahwa ia adalah pemula dijalan tasawuf, maka ia wajib bermujahadah terlebih dahulu sebelum tidur, paling tidak ia dalam keadaan berwudlu dan telah menyelesaikan pekerjaan yang fardhu dan dzikir jaharnya.

Jumat, 18 September 2009

IDUL FITRI

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Hampir semua orang merasa gembira tatkala shalat hampir selesai, tatkala waktu berbuka puasa tiba, tatkala menjelang hari Raya Idul Fitri, berarti manusia senang berpisah dari Allah SWT, karena kembali kepada tabiat asalnya bukan kembali kepada fitrah manusia yang suci itu, yakni enggan melakukan mujahadah, malas memenuhi hak-hak Allah. Padahal shalat dan puasa adalah perisai yang kokoh guna menghadang pasukan yang bengis dari nafs dan syaithon, dan keberpalingan dari dunia. Orang yang berpaling dari dunia ini akan berpaling kepada Allah SWT. Ironisnya begitu bulan Ramadhon berakhir mereka malah bersuka cita, dan mengatakan sebagai ‘hari kemenangan’, kemenangan dari apa? Tak satu hari pun manusia awam mampu menaklukkan nafsnya, ia tak peduli dengan sifat hakiki jiwa rendahnya, malah bersahabat dengannya, lalu bagaimana ia dapat melakukan shalat dan puasa yang benar? Syaithon saja mengganggu manusia dengan sembunyi-sembunyi, sedangkan manusia malah mengganggu manusia yang lain dengan terang-terangan, dibulan Ramadhon yang suci itu, mereka bersenang-senang, bernyanyi, berjingkrak-jingkrak, tanda mengikuti jiwa rendahnya yang seharusnya ia perangi. Allah SWT berfirman : ‘Dirikanlah shalat untuk berdzikir kepada-Ku,’ dan didalam hadits qudsi Rasulullah,saw., bersabda bahwa Allah SWT berfirman : ‘Puasa adalah untuk-Ku.’ Shalat manusia awam pastilah mengingat dunia bukan mengingat Allah SWT, dan puasanya untuk dirinya bukan untuk Allah SWT, jadi sangatlah jauh dari kesempurnaan. Semua sahabat Rasulullah,saw., meneteskan air mata dan merasa bersedih berpisah dengan bulan yang penuh berkah ini. Karena mereka harus berpisah dari kesempatan emas (golden opportunity) untuk pencapaian pensucian diri, meskipun dengan ibadah yang sedikit dan kualitas yang jauh dari kesempurnaan, Allah SWT akan melipat gandakan amal-amalnya, mempercepat pendakian untuk berdekat kepada-Nya. waktu yang demikian berharganya itu berlalu, mereka merasa bagai kehilangan pedang dan kuda saat berperang. Para pejalan sejati akan merasakan hal sama tatkala berpisah dengan bulan Ramadhon, tak kuasa mendekapnya, menjadikan apa-apa yang dilihat, didengarnya menjadi air mata kesedihan. Mereka berdoa : 'Yaa Allah berikan aku umur untuk dapat memasuki semerbak harumnya bulan Ramadhon tahun depan, terimalah puasaku, sucikan dan ampunilah dosa-dosaku.'

Keterangan diatas membuktikan bahwa semua manusia terhalangi (terhijab) dari kebenaran ruhani, kecuali para Aulia Allah dan sahabat-sahabat-Nya yang terpilih. Ada dua macam hijab pada diri manusia, yang pertama adalah sebagai ‘penutup’ yang tidak mungkin bisa dicampakkan, karena sudah menyatu dengan dzatnya, sehingga dalam pandangannya kebenaran dan kepalsuan sama saja baginya. Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. (QS 083 : 14).’ Kemudian Allah SWT menjelaskan makna hal ini :‘Sesungguhnya orang-orang yang ingkar itu, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.' (QS 002 : 6) Kemudian Dia menerangkan sebabnya : 'Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang Amat berat. (QS 002 : 7) Pendeknya, tidak mungkin membuat cermin dari besi, meskipun digosok ribuan kali dan oleh ribuan orang. Sedangkan yang kedua, adalah hijab sebagai ‘pengabur’ yang segera bisa dicampakkan. Ia terhalang dari kebenaran oleh sifat-sifatnya bukan karena dzatnya, sehingga tabiat dan hatinya terus mencari kebenaran dan menjauhkan diri dari kepalsuan. Karena perubahan sifat adalah mungkin sedangkan perubahan dzat adalah tidak mungkin. Sebagaimana cermin yang berkarat bisa menjadi bening dengan digosok terus menerus. Imam Junayd,ra., berkata bahwa : ‘Hijab penutup termasuk kelompok yang tetap, sedangkan hijab pengabur termasuk yang bisa berubah.’ Sebagaimana watak besi adalah kegelapan dan watak cermin adalah kecermelangan, karena dzat itu langgeng dan sifat itu sementara.

Oleh sebab itu, menggosok atau penghapusan (mahw) karat pada cermin hati merupakan kewajiban manusia agar kembali kepada fitrahnya, yakni tempat bersemayamnya Tuhan penguasa semesta alam. Sehingga terasakan hakikat Idul Fitri, dan tidak hanya dibicarakan saja. Karena bicara itu penuh kepalsuan, sedangkan merasakan hakikat itu sebuah kebenaran, dan orang-orang yang masuk kedalam hakikat akan 'diam'. Penghapusan atau peniadaan atau pe-nafy-an terhadap sifat-sifat yang tercela (hijab pengabur), dan pengkukuhan (itsbat) terhadap kualitas-kualitas terpuji, atau peniadaan pilihan sendiri dan pengkukuhan pilihan Tuhan, atau peniadaan yang lain dan pengkukuhan hanya Allah saja, merupakan pekerjaan wajib bagi para pejalan. Laa Ilaaha adalah pe-nafy-an sedangkan Illallaah adalah peng-itsbat-an. Mereka meyakini bahwa berdzikir dengan menyebut kalimat thoyibah ‘Laa Ilaaha Illallaah’ dengan cara-cara tertentu dan jumlah tertentu pula merupakan cara yang jitu dan tercepat guna menghancurkan hijab pengabur. Kaifiat dzikir yang shahih itu, hanya bisa diperoleh dari seorang Mursyid, seorang guru tarekat, seorang syaikh dengan cara bai'at yang hukumnya sunat nabawiyah. Maka bila dikerjakan secara sungguh-sungguh, kepalsuan akan lenyap dan terjelaskan kebenaran-kebenaran. Ia akan merasa sedih tatkala berpisah dengan bulan Ramadhon, dan merasa gembira tatkala memasukinya. Sehingga kemenangannya bukan di dunia fana ini, karena dunia ini adalah tempat medan juang mujahadahnya, tempat menginjak-nginjak hawfa nafsu, melainkan kemenangan di akhirat nantinya, insya Allah. Jadi dihari Idul Fitri ini yang ingin bergembira ya bergembiralah sebagai syiar agama bukan sebagai kemenangan. Karena manusia tetap harus melakukan peperangan melawan nafs-nya sampai ajal menjemputnya, agar ia dikelompokkan kedalam orang-orang yang melakukan jihad akbar, dan bila ia gugur didalam peperangannya, Allah SWT berkenan memasukkannya kedalam kelompok syuhada. Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H, mohon maaf lahir dan bathin.

Rabu, 16 September 2009

27 RAMADHON - AL UNS

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Para sufi sepakat, bahwa malam Laitul Qadar itu jatuh pada malam 27 Ramadhon.’

Malam 27 Ramadhon adalah malam teristimewa bagi para penempuh jalan keruhanian, karena dimalam itu dipercaya sebagai sebaik-baik hari diantara hari yang baik, nilainya lebih baik dari seribu bulan. Seorang salik menuturkan mimpinya : “‘Aku berada di atas bukit yang tinggi, menikmati indahnya kedekatan dengan sang guru, semua yang terlihat hanyalah keindahannya saja, tiba-tiba aku merasakan ada cahaya kuning dan putih masuk kedalam hatiku, lalu aku terkuasai oleh rasa suka cita yang demikian hebatnya, aku tak mau berpaling dari keadaan ini, akan tetapi ada bisikan yang memalingkan pandanganku ketaman-taman hijau yang penuh dengan pepohonan, terlihat ada makhluk hitam sembunyi disebuah pohon yang besar, makhluk itu sangat mengganggu pikiranku. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengetahui apa yang sedang aku pikirkan, lalu beliau berkata kepadaku : ‘Engkau harus mengusirnya dengan sekuat tenagamu, bila tidak, makhluk itu akan merusak seluruh tanaman yang ada ditamanmu ini.’” Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering menyampaikan lambang dan makna mimpi-mimpi kepada murid-muridnya. Demikian pula tentang mimpi sang salik itu, bukit melambangkan kewalian, karena kebaikan sang guru dan memang sang salik cukup kukuh dijalan ini, ia merasakan bias kewalian gurunya, yang pertama-tama dilihat adalah keindahan keadaan spiritual sang guru yang sedang terbakar oleh keagungan-Nya dalam api cinta, lalu menaik kepada keindahan yang mulia Rasulullah,saw., dan pada akhirnya hatinya terkuasai oleh sinar keindahan Tuhan (Jamal) dalam cahaya musyahadat. Hal ini biasa terjadi di jalan tasawuf, seolah-olah sang salik diperkenankan memakai jubah bertambal gurunya. Taman-taman hijau yang dipenuhi oleh pepohonan melambangkan amal-amalnya, khususnya dzikir-dzikirnya, sedangkan makhluk hitam adalah sifat buruk yang masih tersisa, yang mempunyai potensi untuk memberhangus seluruh amal-amalnya tanpa tersisa. Oleh karenanya, guru memerintahkan untuk segera memeranginya. Sang salik tidak akan pernah berhasil mengusir makhluk itu tanpa pedang kasih sayang gurunya, tanpa memetik barokah-barokahnya. Karena setinggi-tinggi derajat pemula dijalan tasawuf adalah serendah-redah derajat gurunya. Maka al-uns yang bermakna kedekatan, lalu karena dekat ia memandang keindahan Tuhan (Jamal), tentunya melalui perantara sang guru dan yang mulia Rasulullah,saw., lalu ia merasakan suka cita yang hebat, seperti yang dirasakan oleh sang salik dalam mimpi itu, adalah derajat pemula, sehingga sang salik tidak boleh cepat merasa puas diri. Ia harus tetap istiqomah mengamalkan pekerjaan tarekatnya. Seorang salik tidak akan pernah mengerti apa yang sedang dirasakan oleh gurunya, kecuali bila sang guru menceritakan keadaannya, agar dikemudian hari bila sang salik mengalami pengalaman ruhani yang demikian itu, tidak lagi terkesima karenanya.

Kejelasan-kejelasan keadaan ruhani atau isyarat-isyarat keruhanian terkadang muncul dengat sangat jelas seperti terbitnya matahari, dan terkadang agak samar sebagaimana terbitnya bulan, hal ini silih berganti mencahayai hati ini, kecuali bila terhalang awan gelap oleh prasangka-prasangka buruk. Isyarat ini merupakan keniscayaan bagi para salik yang teguh berpegang kepada tali agama, kukuh menjalankan semua amalan yang diperintahkan oleh gurunya. Karena tidak ada sebuah maqom pun yang tidak mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus selalu dipenuhi oleh sang salik. Dan jelas, salik tidak boleh sekalipun menyia-yiakan kewajiban ini, guna melestarikan maqomnya, guna mempersiapkan datangnya sebuah ‘hal’ seperti ‘al uns’ tadi . Dan isyarat ini bukan untuk salik yang bermalas-malasan, yang mengharapkan datangnya Laitul Qadar hanya dengan melakukan wiridan pada malam-malam ganjil saja, sedangkan dihari yang lain ia malas.

Senin, 14 September 2009

ADIL - ADL

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Meskipun terdengar absurb, memberikan analog adil sebagai jalan tol memang kurang tepat, namun tidaklah mengapa, guna memudahkan pembahasan lebih lanjut. Jika adil diibaratkan jalan tol, maka tidak ada bedanya seseorang yang baru mengambil karcis tol dengan orang yang berada diujung jalan tol. Keduanya berada dijalur adil, walaupun tingkatannya berbeda-beda. Yang satu baru melangkah sudah mengaku adil, sedangkan yang lainnya, harus melakukan keber-upaya-an yang sungguh-sungguh terlebih dahulu. Demikian sifat manusia, apa yang ia telah lakukan diangggapnya telah berlaku adil. Bagi manusia, adil menjadi sangat relative, bisa jadi yang satu menganggap adil, sedangkan yang yang lain menolak. Oleh karenanya sulit bagi seorang pemimpin untuk berlaku adil, padahal adil adalah syarat utamanya. Seorang salik menuturkan bahwa sudah banyak buku ditulis oleh profesor tentang keadilan, namun yang satu dengan yang lain tampak berbantahan. Seorang keturunan dari India, Amartya Sen, mendapatkan hadiah nobel lantaran memberikan gambaran tentang teori keadilan. Pada awalnya keadilan itu dinilai sebagai keadilan mendapatkan peluang (equal opportunity), kenyataannya peluang yang sama bermuara pada penghasilan yang berbeda, karena kemampuan manusia berbeda-beda. Lalu muncul teori keadilan pendapatan (equal income), kenyataannya pendapatan yang sama berujung pada kekayaan yang tidak sama, karena kebutuhan manusia berbeda-beda. Lalu muncul teori keadilan kekayaan (equal wealthiness), kenyataannya kekayaan yang sama berujung pada kebahagiaan yang tidak sama, karena materi ternyata tidak menjamin kebahagiaan. Teori tahapan keadilan bagi kaum intelektualitas ini bagus, walaupun pada akhirnya berujung pada kesalahan yang mendasar, yakni, 'kebahagiaan' sebagai ujung keadilan, sedangkan dalam ilmu kesufian 'kebahagiaan' atau 'suka cita' atau 'uns' dalam istilah tasawufnya, merupakan awal perjalanan, karena merupakan sebuah rasa yang masih bisa berubah-rubah dan belum menetap (tamkin). Uns (suka cita) kedudukannya diatas basth (kelapangan), dan basth diatas raja (harap). Teori 'kebahagiaan' sebagai akibat dari materi, ini mustahil, karena materi justru mendatangkan kesulitan, ketamakan dan kesombongan serta menjauhkannya dari Tuhan. Orang yang jauh dari Tuhan mustahil ada setitik kebahagiaan pada dirinya. Didalam al Qur'an ada beberapa kisah yang menuturkan bahwa orang-orang yang kaya itu menjadi sesat, yakni qorun dan fir'aun, sedangkan orang yang kaya namun shaleh hanyalah seorang nabi, yakni Nabiyullah Sulaiman,as. Seseorang bisa mengambil pelajaran disini, betapa kekayaan itu menjerat jiwa untuk berbuat sewenang-wenang, kecuali bagi orang yang ruh, jiwa, hati dan badannya dicipta dari lempung kenabian. Orang yang fakir, selamanya akan membutuhkan Tuhan, sedangkan orang yang banyak materi keduniawian, meskipun ia setiap saat berpikir membagikan hartanya kepada kaum miskin, menjadikan jauh dari tuhannya, karena ia sibuk dengan makhluk dan rencana-rencananya, keduanya merupakan dzikir dunia bukan dzikrullah, dan merupakan hijab-hijab sejati. Karena yang pertama sibuk dengan selainnya sedangkan yang kedua sibuk dengan Tuhannya. Para syaikh sufi sepakat, justru jalan untuk mendapatkan kebahagiaan sejati adalah berpaling dari 'kekayaan materi'. Karena orang yang bergantung kepada Tuhannya, tidak mungkin bergantung kepada selainnya. Sedangkan kekayaan adalah kendali syaithon yang utama selain wanita, guna menjerumuskan manusia kejurang kedzaliman yang paling dalam. Khususnya materi yang membuat orang bergantung kepadanya.

Adil adalah salah satu asma-Nya, sifat daripada Dzat-Nya, artinya Dia yang adil, dan Dialah yang selalu bentindak adil. Dan karena Allah itu Qadim, maka Dia tidak terbatas, karena Dia tidak terbatas maka demikian pula sifat-sifat-Nya. Nah, karena adil tidak terbatas, maka tak satupun manusia dapat berlaku adil, sebab manusia dicipta terbatas, sehingga keadilannya pun terbatas, sesuai dengan sifat dzatnya. Semakin besar pengakuan terhadap keadilannya atas apa yang telah ia lakukan, maka semakin besar pula kebohongannya, semakin besar egonya dan semakin jauh ia dari Tuhannya. Oleh karenanya, bila engkau sebagai seorang pemimpin ditanya, sudah adilkah engkau? Maka sebaiknya diam, Bila dijawab 'ya' engkau telah berbohong, dan jika dijawab 'tidak' engkau seorang pemimpin dan syarat untuk menjadi pemimpin adalah 'adil'.

Seorang sufi mengatakan bahwa adil itu meletakkan setiap sesuatu pada tempatnya, dan yang mempunyai kemampuan melakukan ini hanyalah Allah saja. Sebagai contoh Allah telah menciptakan alam semesta sedemikian luasnya dan mengaturnya dengan sempurna, bumi ditempatkan yang paling bawah, diatasnya ada air, diatas air ada udara dan langit diatas udara. Dan jika salah satu susunannya terbalik, maka tatanannya tidak dapat dipertahankan. Lalu kita lihat pada diri manusia, ada tulang, daging dan kulit. Dia menciptakan tulang sebagai penopang, daging sebagai pembukusnya untuk melindungi tulang dan kulit yang membukus daging. Jika tatanan ini dibalik, maka susunannya tidak dapat dipertahankan. Demikian pula penempatan jawarih pada diri manusia, yakni, mata, hidung, telinga, mulut, tangan dan kaki. Dengan menempatkan anggota tubuh dengan tepat, maka Dia itu adil. Pendeknya tidak ada yang diciptakan kecuali ditempat yang memang dimaksudkan untuk apa yang diciptakan itu. Tidak bisa dibayangkan bila, hidung ditempatkan didahi dan mulut dibelakang kepala, maka kecacatannya itu akan mengurangi kemanfaatanya. Maka segala sesuatu ciptaan-Nya tidak ada yang tidak seimbang, oleh sebab itu ada kelompok yang menggambarkan keadilan itu dengan lambang timbangan, mungkin ini yang mereka maksud.

Apakah keadilan itu harus memberikan manfaat kepada pihak lain? Jawabnya tidak! Karena bila buku-buku diberikan kepada tentara atau senjata kepada para ulama, maka ia telah meletakkan segala sesuatunya bukan pada tempatnya, dan ini bukanlah keadilan melainkan kedzaliman. Sebaliknya, bisa jadi memberikan kemudaratan merupakan keadilan, seperti memberi hukuman mati kepada penjahat, atau memotong salah satu anggota tubuh mereka atau dengan mencambuk mereka. Karena ia telah menempatkan mereka pada tempatnya yang tepat.

Tingkat tertinggi keadilan bagi manusia, bila susunan yang halus (lathif) pada diri manusia sudah berada ditempat sebagaimana ia harus berada, yakni, jiwa (nafs) dibawah bimbingan akal (aql), sehingga syahwatnya (tabiat) tidak lagi beringas dan tidak ditaati lagi oleh jiwanya (nafsnya), serta ruhnya tidak kuatir lagi akan pemberontakan oleh jiwanya (nafsnya), sehingga pada akhirnya iderawi manusia bergerak sesuai dengan ketentuan hukum agama. Susunan yang demikian bisa diupayakan, dengan melakukan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah secara berkesinambungan dan wajib hukumnya dibawah bimbingan seorang mursyid. Seseorang yang tenggelam didalam dzikir-dzikirnya ia akan menyerap sifat-sifat Tuhan, sifat-sifat manusia menjadi sirna dan tergantikan dengan sifat-sifat-Nya. Nah, bila sudah demikian, adil berada di genggamannya. Seseorang yang mempunyai kedudukan yang demikian sudah tidak mau lagi menjadi pemimpin bangsa, kecuali bagi dirinya dan murid-muridnya saja. Karena baginya, kegembiraannya terletak pada memimpin manusia berdekat kepada pencipta-Nya. Jadi untuk para pemimpin bangsa ini bila ingin berlaku adil, seringlah mengunjungi para guru mursyid, datangi mereka dan pasanglah rasa takzim. Jangan banyak bicara dihadapannya dan jangan pernah mengundang untuk datang ke istana negara, karena, kalau ia benar-benar sorang mursyid pastilah ditolaknya, tetapi datanglah ke rubatnya yang sederhana itu, karena rumah Tuhan yang hakiki berada disana, bersama-sama dengan para guru mursyid. Dan keadilan ada pada khazanah hatinya, datang .. datanglah.

Sabtu, 12 September 2009

TARI TOPENG

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah,saw., bersabda : 'Ia yang diam selamat.'

Di Cirebon, Indonesia, adalah tempat asal tari topeng, penarinya seorang wanita. Tarian ini sudah ada sejak masa Sunan Gunung Jati,ra., salah satu wali songo yang masyhur itu, yang merebut Banten dan jakarta dari tangan penjajah. Beliau membiarkannya, karena pada tarian itu penuh dengan makna ajaran tasawuf. Keunikannya terletak pada, sang penari yang memakai beberapa topeng sekaligus, baik yang menutupi wajahnya atau dibelakang kepalanya, begitu satu dibuka masih menempel topeng yang lain. Persis seperti sifat-sifat manusia pada umumnya. Wanita mewakili nafs pada diri manusia, sedangkan topeng demi topeng adalah tingkah laku dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kepalsuan. Sesungguhnya tingkah laku dan pembicaraan itu penuh dengan topeng pretensi, dan dimana kenyataan-kenyataan terkukuhkan, topeng pretensi sia-sia. Menjadi pretensi karena setiap tingkah laku dan pembicaraan mengandung harapan-harapan akan diakui oleh lawan bicaranya, bahwa ia adalah orang yang baik, manusia yang tinggi ilmunya, atau seseorang yang dekat dengan Tuhannya, dan tujuan akhirnya adalah berharap memperoleh hal-hal yang bersifat keduniawian. Baik secara terang-terangan atau secara isyarat-isyarat, ada yang secara sadar dan ada yang tidak menyadarinya, sebagaimana tarian topeng itu yang penuh dengan lenggak-lenggok memamerkan kebolehannya untuk memikat mangsanya. Bagi yang belum sadar, ia akan terus dimanapun dan dengan siapapun berhadapan, selalu memakai topeng kepura-puraan, sedangkan yang sudah sadar, ia mencoba mengatasinya dengan berbagai cara, agar topeng kediriannya dilepaskan dan tampil sebagaimana adanya. Tidak saja orang awam yang memakai topeng-topeng ini, namun juga dipakai oleh orang-orang yang menekuni bidang keagamaan. Padahal, menolak berbicara, bukan berarti ia tidak paham tentangnya, dan bukan pula mengurangi esensi kedudukannya. Tetapi, seseorang tidak pernah dimaafkan hanya karena pernyataan (pretensi) yang tidak mengandung kenyataan, yang menjadi prinsip orang munafik. Pernyataan tanpa kenyataan adalah kemunafikan dan kenyataan tanpa pernyataan adalah kejujuran. Rasulullah,saw., bersabda : 'Yang terburuk yang kutakuti menimpa umatku adalah lidah.' Syaikhuna (semoga Allah merahamatinya) pernah berkata bahwa : 'Berbicara itu bagai minum khamar, sulit untuk menghentikan berbicara saat didepan umat, layaknya orang yang mabuk.' Ujaran ini bagus sekali, berbicara itu memabukkan pikiran, dan orang-orang yang mulai merasakannya, tidak bisa meninggalkannya, karena jiwa tersenangkan, seperti sebuah tarian topeng dihadapan orang banyak. Oleh sebab itu, para syaikh sufi, yang mengetahui bahwa berbicara itu berbahaya, tidak pernah berbicara kecuali bilamana diperlukan, yakni mereka mempertimbangkan awal dan akhir dari pembicaraan itu. Jika seluruhnya demi keridhaan-Nya, mereka berbicara, jika tidak, mereka diam saja, karena mereka selalu dalam keadaan muroqobah, dan diliput rasa bahwa Tuhan mengetahui pikiran-pikiran rahasia manusia. Dalam berbicara banyak terdapat keburukan-keburukan, sedangkan dalam diam terdapat banyak manfaat dan nikmat-nikmat ruhani. Orang yang diamnya kepada Tuhan adalah emas, dan bicaranya kepada selain Tuhan adalah sepuhan emas.

Terjadi di pinggiran kota Bagdad, selagi Imam Sibly,qs., berjalan, seseorang berkata : 'Diam lebih baik daripada berbicara.' beliau menjawab : 'Diammu lebih baik daripada bicaramu, tetapi bicaraku lebih baik daripada diamku, karena bicaramu sia-sia dan diammu adalah lelucon, sementara diamku adalah kesopanan dan bicaraku adalah pengetahuan.' Pendeknya, jika orang berbicara benar, bicaranya lebih baik daripada diamnya, tapi jika orang bicara palsu, diamnya lebih baik daripada bicaranya. Ia yang berbicara bisa mencapai tujuan dan bisa jadi tidak mencapainya, tetapi ia yang dipaksa bicara, terpelihara dari kefasikan.

Oleh sebab itu, tujuan berbicara haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan ruhani, jika tujuannya hanya untuk keduniawian, meskipun bicaranya tentang agama, maka diam lebih baik baginya. Sebaliknya, bila bicaranya tentang keduniawian, namun tujuannya untuk mengkukuhkan syariat, bicaranya lebih baik daripada diamnya. Berbicara itu, seperti melempar umpan kedalam kolam yang penuh dengan ikan, ia bermaksud memberi makan keruhanian kepada ikan-ikan itu, atau ia justru akan memperoleh daging ikan yang gurih itu.

Seorang salik mengisahkan : “Dalam sebuah acara keagamaan, sang ustadz berbicara kepadaku, 'Aku ingin membeli rumah yang engkau tawarkan.' 'Apakah ustadz mempunyai uang?' tanyaku. Sambil menunjuk ke jamaahnya ia berkata 'Inilah uangku.'” Kisah ini menjijikkan, jamaahnya dijadikan komoditas untuk mendapatkan uang. Fenomena yang demikian menjamur dinegeri kita ini, ada yang secara terang-terangan dan ada pula yang sembunyi-sembunyi. Ada yang dijaharkan dan ada pula yang berupa isyarat-isyarat. Cara-cara yang demikian memang sudah ada sejak jaman dahulu kala, bedanya, saat ini agama dikomersialkan dan dijadikan profesi, dan senjata yang ampuh untuk mewarnai jamaah adalah dengan berbicara dan bertingkah bagai orang suci. Lebih baik berpura-pura munafik padahal ia alim, daripada berpura-pura alim padahal ia munafik, dan dalam kesufian yang pertama dibolehkan dan dianut oleh banyak syaikh sufi, mereka menyebutnya ma'lamat. Seperti tarian topeng itu, tidak ada yang tahu apakah penarinya gadis muda atau nenek-nenek, sang gadis bertingkah seperti nenek, sedangkan sang nenek berlagak seperti seorang gadis.

Tari topeng, akan mendatangkan keduniawian, karena orang-orang yang menonton telah terwarnai, ada yang secara terpaksa dan ada yang sukarela membayar. Tinggalah sang penari dengan dunia yang diperolehnya, ia mewakili nafs, dan semua tahu apa yang akan dilakukannya. Karena setiap topeng dilepaskan, dibaliknya ada topeng yang baru.

Umar bin Khatab,ra., mendapat gelar al Faruq, karena beliau tidak pernah memakai topeng. Ketegasan dan kejujurannya sugguh luar biasa, seperti sebuah kisah meriwayatkan, utusan dari Rum tiba di Madinah, ia masih harus bertanya, 'Dimanakah istana sang Khalifah?'Seorang warga kota menjawab : 'Beliau tidak mempunyai istana, jiwanya yang besar, megah dan bercahaya itulah istananya.' Setelah 'istana' ditemukan, ternyata hanya sebuah tempat tinggal biasa yang tidak lebih mewah daripada rumah warganya yang paling miskin. Utusan dari Rum itu meneteskan air mata sambil berkata kepada temannya, 'Bukan pedang yang tajam dan bukan pula kuda yang gagah,inilah senjata yang ampuh yang bisa menaklukkan kebesaran kekaisaran Bizantium.' Ini sebuah contoh bahwa para sahabat dan para pewaris nabi, pastilah mengikuti jejak yang melimpahkan hak warisnya, yakni tidak berpaling kepada keduniawian, dan tidak berdalih bahwa kaya itu boleh yang penting hati ini tidak terkait kepada benda-benda dunia. Selama ia terkait dengan benda-benda dunia, pastilah ia penari topeng dan bukan ulama, karena hati hanya mempunyai satu ruang, dan tidak bisa tinggal bersama antara mencintai Tuhannya dengan mencintai selainnya, baik berupa harta benda, istri atau anak-anaknya.

Jumat, 11 September 2009

LAILATUL QADAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Lailatul Qadar atau dikenal dengan malam kemuliaan, semua umat mengetahui bahwa malam itu lebih baik dari seribu bulan dan penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar. Dinamakan Lailatul Qadar karena malam itu merupakan malam penentuan segala sesuatu dan penentuan segala hukum. Diriwayatkan dari Imam Ibnu Abbas,ra., bahwa Allah SWT menentukan segala sesuatu pada tahun itu yang berupa hujan, rizki, kehidupan dan kematian sampai pada Lailatul Qadar di tahun berikutnya. Ayat itu seperti halnya firman Allah SWT: ‘Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’ (QS 044 : 4) Imam Hasan al-Bashri.ra., berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke tujuh belas. Pendapat yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik,ra., mengatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke sembilan belas. Imam Muhamad bin Ishaq,ra., berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke dua puluh satu. Riwayat yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas,ra., mengatakan pada malam dua puluh tiga. Sahabat Ibnu Mas’ud,ra., berpendapat pada malam dua puluh empat. Sahabat Abu Dzar al-Ghiffari,ra., berpendapat pada malam dua puluh lima. Sedangkan sahabat Ubay bin Ka’ab,ra., dan sekelompok sahabat berpendapat bahwa Lailalatul Qadar terjadi pada malam dua puluh tujuh. Sementara sebagian yang lain berpendapat pada malam dua puluh sembilan.

Seorang salik melantunkan sebuah syair : 'Sungguh Laila lebih mulia dari Majnun, karena dia menyembunyikan cintanya kepada Tuhan, sedangkan Majnun memberitakan kepada setiap orang. Seperti Lailatul Qadar yang mengungguli seribu bulan dan sembunyi dibulan Ramadhon.'

Sebagaimana shalat yang telah ditetapkan waktu-waktunya, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : 'Bila shalat adalah sebuah niat yang suci, mesucikan badan dari najis yang sugro, yang didalamnya ada gerakan lahiriyah, doa-doa, puji-pujian, dan shalawat, maka para perjalan pada hakikatnya melakukan shalat terus menerus disepanjang terjaganya, karena mereka pun dalam keadaan bersuci terus menerus dan melakukan dzikir-dzikir, wirid-wirid dan shalawat serta doa-doa.'Oleh karenanya para pejalan tidak terlalu perduli kapan terjadinya malam lailatul qadar, baginya setiap hari adalah malam turunnya lailatul qadar, karenanya, kesehariannya diisi dengan mengerjakan pekerjaan tarekat yang diperoleh dari syaiknya, ada wirid-wirid disiang hari dan ada dzikir-dzikir dimalam hari serta shalat sunat, baik itu shalat sunat taubat, shalat sunat mutlak dan shalat sunat tahajjud. Tidak dipedulikan apakah itu malam minggu, malam Jum’at atau malam-malam lain, atau apakah itu dibulan Ramadhon atau dibulan-bulan lain. Selama hayat masih dikandung badan disiplin (riyadhah) dan pertempuran melawan hawa nafsu (mujahadah) tidak akan pernah berhenti. Sehingga, bila para ulama berbeda pendapat tentang waktu turunnya malam lailatul qadar, para perjalan telah siap menyongsongnya kapan pun malam yang diberkahi itu turun, malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan itu tiba. Karena para pejalan mempunyai keyakinan bahwa Allah SWT merahasiakan asma-Nya yang paling mulia agar para hamba mengagungkan semua asma Allah SWT. Allah SWT merahasiakan shalat wustha agar para hamba selalu mengerjakan dan menjaga semua shalat. Allah SWT merahasiakan pengabulan dan pengampunan taubat seorang hamba agar para hamba itu selalu bertaubat kepada Allah SWT. Allah SWT juga merahasiakan kematian manusia agar mereka selalu menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian. Demikian juga Allah merahasiakan malam Lailatul Qadar agar para hamba Allah SWT memuliakan dan mengagungkan semua malam di bulan Ramadhan.

Pastilah kemulian dan keagungan itu hanya ditujukan kepada pelaku ibadah yang tangguh, artinya kepada orang-orang yang telah menyiapkan cawan keruhaniannya sejak bulan ramadhon tahun sebelumnya hingga saat ini, agar pada malam yang diberkahi itu mereka dikukuhkan sebagai hamba yang mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Tuhannya.

Kamis, 10 September 2009

ISTIDRAJ

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman :
Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, (QS 068 : 44)

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS 006 : 44)


Makna ayat-ayat diatas dapat diketahui bahwa ‘istidraj’ adalah pemberian Allah SWT kepada seseorang atas apa yang ia inginkan di dunia ini, agar ia menikmatinya dan tenggelam didalam lautan kesenangan, mereka tidak menyadari bahwa apa-apa yang mereka sangka kesenangan itu adalah sebuah hukuman yang diulur-ulur, agar ia semakin jauh dari Allah SWT. Terlalu banyak di negeri kita ini, orang-orang yang bila mendapatkan jabatan baru, lalu ia bersujud karenanya seolah-olah ia merasa telah mendapatkan karunia dari Allah SWT, ia tidak menyadari bahwa hal itu akan menyusahkannya dikemudian hari. Berbeda dengan para sahabat Nabi,saw., misalnya Salman al Farisi,ra, yang ditunjuk untuk menjabat sebagai gubernur di suatu daerah, ia menangis karenanya, khawatir bila ia tidak dapat menjalankan amanah itu dengan baik, dan tidak lama kemudian ia dicopot dari jabatannya, justru ia melakukan sujud syukur, karena lepas dari tanggung jawab yang sedemikian besar itu. Jadi istidraj adalah pisau yang bermata dua, satu sisi berupa sesuatu yang menggembirakan hati, sedangkan sisi yang lain berupa ketidak sadaran bahwa pemberian itu akan mencelakakannya. Oleh sebab itu bagi para salik, wajib hukumnya untuk selalu merapat kepada gurunya, guna mendapatkan bimbingan yang terus menerus, sehingga bila ada istidraj yang datang akan segera dapat diatasinya berkat barokah dari sang guru. Disebut istidraj, apapun bentuknya baik itu yang dhahir ataupun yang batin akan sulit dikenali. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Musibah adalah, bilamana seseorang diberi harta yang banyak lalu tidak mampu menggunakannya dijalan agama, diberikan pangkat yang tinggi namun tidak mampu menegakkan syariat, Allah SWT menyelipkan didalam hatinya istidraj.’ Dan beliau juga berkata : ‘Celakalah orang yang berdakwah merasa bagai orang suci, pandai berbicara dan mengajak orang lain untuk banyak beribadah, padahal dalam diri orang itu tidak banyak ibadahnya dan peribadatannya tidak bernilai tinggi. Dia menukar ilmunya dengan sesuatu yang bersifat duniawi, yang sejak dari rumah memang sudah diharapkannya. Jelas! Itu bukan peribadatan, itu adalah istidraj.’

Imam Abul Hasan an-Nuri, atau yang dikenal dengan Imam Nuri,qs., menceritakan kisahnya : ‘Bertahun-tahun aku berjuang, menahan diriku dalam penjara dan berpaling dari orang-orang lain. Betapapun wara-nya aku, jalan yang ingin kutempuh tidak juga terbuka untukku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku. Aku mendengar bahwa hati para mistik dapat mengetahui rahasia dari apa pun yang mereka lihat dan dengar. Sedangkan aku tidak begitu, aku berkata : ‘Benar apa yang diucapkan oleh para nabi dan para wali. Mungkin aku munafik dalam perjuanganku, dan kerusakannya berdampak pada diriku sendiri. Disini tak ada tempat bagi perbedaan pendapat.’ Aku melanjutkan, ‘Sekarang aku akan mencermati diriku sendiri dan mencari tahu apa yang salah.’ Aku memandangi diriku sendiri. Dan aku pun menemukan apa yang salah pada diriku, yakni jiwa badaniahku menyatu dengan hatiku. Bila jiwa badaniah menyatu dengan hati, itu namanya bencana, karena apapun yang berkilau di hati, jiwa badaniah akan mengambil bagiannya. Aku pun menyadari bahwa inilah penyebab dilemma yang aku hadapi, segala yang memasuki hatiku dari Istana Tuhan, jiwa badaniahku akan selalu mengambil bagiannya. Sejak saat itu, aku menjauhi apa pun yang memuaskan jiwa badaniyahku, dan mengambil sesuatu selainnya. Misalnya, jika salat atau puasa atau sedekah atau mengasingkan diri atau bergaul dengan para sahabatku memuaskan jiwa badaniahku, maka aku akan memotong dan mebuang jauh-jauh segala kepuasan itu. Akhirnya rahasia-rahasia mistis mulai terwujud dalam diriku. Lalu aku berjalan menyusuri sungai Tigris dan berdiri diantara dua sampan. ‘Aku takkan pergi, kataku, sampai seekor ikan terjerat jalaku.’ Akhirnya, seekor ikan terjerat jalaku. Saat aku mengambil ikan itu, akau memekik, ‘Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!’ Aku pergi menemui Imam Junayd,ra., dan berkata padanya, ‘Sebuah karunia telah dianugerahkan padaku!’ ‘Abul Hasan,’ ujar Imam Junayd,ra., ‘Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat, itu adalah muslihat bukan karunia. Karena tanda dari suatu karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.’

Kisah diatas sungguh hebat, istidraj tidak saja hinggap kepada orang awam, tetapi hinggap juga kepada penempuh jalan kesucian, namun kesadarannya dapat segera bangkit, karena mereka bersahabat dengan para sufi yang lain, yang mempunyai kedudukan yang mulia. Berkat persahabatannya dijalan Allah itu, maka yang satu dengan yang lain akan saling membantu dan mengingatkan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata kepada para murid-muridnya : ‘Jika engkau merasa sedang dalam tekanan kehidupan yang keras, lalu engkau berdoa agar segera berlalu, namun Allah malah menekannya lebih keras lagi, itu tanda sebuah karunia besar yang sedang engkau hadapi.’ Oleh karenanya Imam Sibly,qs., murid dari Imam Junayd,ra., pernah berdoa : ‘Yaa Allah aku berlindung kepada-Mu dari-Mu.’ Yakni, untuk dapat membedakan apakah pemberiaan dari Allah SWT itu merupakan istidraj atau anugerah. Jika imamnya para syaikh sufi saja berdoa seperti ini, bagaimana kita bisa mengenali sebuah istidraj yang datang kepada kita? Mari para sahabat, segera kita berlidung kepada Allah SWT dari fitnah-fitnah dunia ini, berharap kiranya Allah menghinggapkan nadam (daya sesal) atas dosa-dosa yang secara sengaja dilakukan ataupun yang tidak sengaja, yang terlihat maupun tidak terlihat dan yang terasa ataupun yang tidak terasa serta memberikan kegagahan kepada kita didalam melakukan pertaubatan. Semoga Allah SWT mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita, amiin ya Allah ya Rabbal Alamiin.

Senin, 07 September 2009

KHUSYU

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sahabat utama Nabi Muhammad,saw., yang banyak menerima ilmu tentang seluk beluk hati, khususnya tentang kemunafikan, yakni Hudzaifah al Yamani,ra., berkata : ‘Khusyu adalah yang perama-tama hilang dari agamamu.’ Oleh karenanya orang yang menempuh jalan kesufian, mengerahkan seluruh kemampuannya guna meraihnya kembali. Awam selalu mengkaitkan antara khusysu dengan shalat, mereka menafsirkan ayat dari al Qur’an : ‘Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mukmin, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.’ (QS 023 : 1-2) Sedangkan orang-orang yang menempuh jalan kesucian, berusaha dengan sekuat tenaganya untuk meraih predikat ‘mukmin’, karena khusyu hanyalah salah satu keutamaan orang mukmin, dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan lainnya. Sehingga mereka meyakini bahwa khusyu adalah sebuah maqom, dan didalam sholat adalah saat maqom-maqom mereka ditampakkan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) banyak memberikan makna daripada khusyu ini, diantaranya, bahwa khusyu adalah hati yang selalu terkait kepada Allah SWT, khusyu adalah tegaknya hati dihadapan-Nya, khusyu adalah saat datangnya rasa takut yang terus menerus didalam hati, terlepas ia sedang dalam keadaan shalat atau pun tidak. Untuk mencapai maqom khusyu ini diperlukan latihan spiritual yang tangguh dan dibawah bimbingan yang terus menerus dari seorang Mursyid, seorang guru tarekat, seorang Syaikh yang memang telah terbukti akhli didalam mendidik murid-murid untuk mencapainya. Paling tidak, pada setiap harinya untuk melatih hati berkait kepada Allah SWT diperlukan dzikir-dzikir tidak kurang dari 11.000 kali banyaknya, dengan menyebut kalimat thoyibah, Laa Ilaaha Illallaah atau Ismudzat, Allah … Allah … Allah, dengan cara dzikir yang berbunyi atau dzikir yang khofi, serta mendirikan shalat-shalat sunah nawafil, awwabin, dan tahajud. Tidak semua murid berhasil mencapai keadaan ini, walaupun telah berupaya melakukannya lebih dari sepuluh tahun lamanya. Oleh karenanya, jika ada orang yang mengaku mampu melakukan shalat khusyu lalu mengadakan kursus-kursus kilat untuk mencapainya, ini sebuah kebohongan belaka, sebuah kemunafikan. Sudah terlalu banyak orang yang menjual agama dengan cara yang demikian. Tidak ada keadaan spiritual seseorang, atau maqom yang didapat secara instan, bagaimana seseorang ingin jujur kepada Tuhannya, sedangkan jujur kepada dirinya sediri ia tidak mampu.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah bercerita : ‘Usiaku masih terlalu muda, aku bersama guruku dan beberapa murid yang telah mengaji lebih dari dua puluh tahun lamanya. Ia ingin menguji keadaan-keadaan para muridnya, lalu ia memerintahkan shalat sunat dua rakaat banyaknya. Di saat shalat sedang berlangsung, rebana dibunyikan, setelah selesai ia bertanya kepada murid-muridnya, : ‘Adakah yang mendengar suara rebana?’. Murid-murid yang senior mengaku tidak mendengarnya, sedangkan syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan mendengar. Lalu guru memerintahkan murid-murid yang tidak mendengar suara rebana untuk meninggalkan masjid, sedangkan yang mendengar tetap tinggal di Mesjid. Lalu guru berkata : ‘meskipun sudah lama mengaji, akan tetapi mereka tidak menarik pelajaran apa pun disini, keakuan sungguh sulit ditaklukkan.’ Cerita ini otentik, dan bahwa khusyu itu bukannya tidak mendengar apa-apa saat shalat, akan tetapi tidak terganggu perhatiannya saat tertuju kepada Allah SWT. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Khusyu, seperti menonton acara tv yang digermarinya, tidak ada sesuatupun yang dapat mengganggu perhatiannya, meskipun ia mendengar panggilan shalat (adzan), walaupun ada kilat dan suara guntur, ia tetap dalam keadaannya.’

Jumat, 04 September 2009

MAKNA BERPUTAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Thawaf adalah berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh kali banyaknya, diawali dengan menyebut Bismillahi Allahu Akbar di Hajar Aswad dan berakhir disitu pula. Seperti gerakan berputar yang berlawanan dengan arah jarum jam. Bagaikan perjalanan menelusuri waktu yang telah lalu, melihat asal-usul diri dan kejadian alam semesta ini. Pada akhirnya akan ditemui bahwa riwayat alam semesta dan seisisnya ini, tertuang dalam al Qur’anur Kariim. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Inti daripada al Qur’an ada pada suratul Fatihah, sedangkan inti suratul Fatihah ada pada Basmallah, dan inti Basmallah ada pada huruf ‘Ba’, dan inti dari huruf ‘Ba’ ada pada titiknya.’ Yakni, Allah SWT menyimpan ilmu pada titik Ba dalam ungkapan yang berbunyi : ‘Bi kana ma kana, Bi yakunu ma yakunu, yakni hanya dengan Aku segala sesuatu yang telah ada itu dapat terwujud dan hanya dengan Aku saja semua yang akan ada dapat terwujud.’ Dengan demikian wujud alam dan seluruh isinya hanyalah karena izin Allah dan hakikat segala perwujudan ini adalah atas nama Allah. Begitu pula bahwa yang pertama-tama diucap oleh manusia adalah huruh ‘Ba’, tatkala Allah SWT berfirman : ‘Alastu Birrabbikum, Bukankah Aku Tuhan kalian,’ kemudian manusia menjawabnya dengan : ‘Bala, Benar (Engkau Tuhan kami).’ Kalimat ‘Bala’ tersebut diawali dengan huruf ‘Ba’. Seperti seseorang yang menggoreskan pena diatas kertas, apapun yang ditulis, ataupun digambar, akan dimulai dan berakhir pada sebuah titik. Ini bermakna ‘Huwal Awwalu Huwal Akhiru’, Dia Yang Maha Awal dan Dia Yang Maha Akhir, tidak ada sesuatupun yang mengawali-Nya dan keabadian-Nya tidak akan pernah berakhir. Orang yang thawaf, adalah orang yang menghargai sejarah dan selalu menarik i’tibar dari kejadian-kejadian terdahulu, khususnya yang dicontohkan oleh para rasul dan nabi-nabi. Sudah banyak kaum yang dimusnahkan oleh Allah SWT disebabkan kejahatan yang dilakukannya, karena tidak menggubris peringatan yang datangnya dari para nabi. Seperti yang telah terjadi kepada kaum Syu’aib di Madyan dan Ashhabu’l Aikah. Allah memusnahkannya dengan petir dan gempa bumi yang hebat serta hawa yang sangat panas. Begitu pula sebelumnya telah terjadi hal yang serupa kepada kaum Nuh, Hud, Shalih, dan sebab-sebab kehancuran kaum Luth yang sebenarnya mempunyai ciri-ciri yang serupa dengannya.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) beserta murid-muridnya pernah berziarah kemakam Nabiyullah Syu’aib,as., dan menyaksikan bekas-bekas azab yang masih terlihat menempel didinding bukit bebatuan disana. Inilah bukti bahwa orang-orang yang diberkahi itu sesungguhnya berjalan berputar berlawanan dengan arah jarum jam, meskipun phisiknya berada dimasa kini namun hati dan fikirnya selalu melayang dan mengambil I’tibar atas kejadian-kejadian masa lampau. Ruhnya yang suci selalu ingin kembali ‘berkumpul’ kepada yang dicintainya seperti tatkala ia menyebut ‘Bala’. Jiwanya selalu dicerahkan dengan dzikir-dzikir yang berbunyi, dzikir nafi isbat ataupun dengan dzikir yang lembut (dzikir khafi), dimanapun ia berada, dalam keadaan sehat ataupun sakit, dalam keadaan gembira ataupun bersedih. Sehingga dzikir menjadi makanan utamanya, karena satu-satunya makanan yang halal diatas dunia dan akhirat nantinya adalah dzikir yang didalamnya tidak ada keharaman sama sekali.

Perubahan iklim di dunia saat ini (global warming), mempunyai tanda-tanda persis seperti kejadian-kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu, yang tidak mengindahkan peringatan para rasul dan nabi. Bedanya kaum terdahulu melakukan kejahatan dan tidak mau beriman, sedangkan kaum yang sekarang mengaku beriman akan tetapi kehidupannya diisinya dengan kesenangan-kesenangan. Sepertinya mereka berkata : ‘Kami telah beriman, tapi biarkanlah kami bersenang-senang diatas dunia ini.’ Sehingga keimanannya hanyalah sebuah kedok belaka. Lihat saja di tv, anak muda, tua, laki-laki maupun perempuan semua bersenang-senang dan pengikutnya banyak sampai ke kampung-kampung dan ujung desa sekalipun. Bagaimana bisa manusia hidupnya hanya bersenang-senang saja lalu mampu melakukan peribadatan dengan baik? Mustahil, karena kesenangan merupakan akar biang keladi robohnya bangunan keimanan. Karena sifat yang menonjol daripada nafs adalah pemuasan keinginan yang berupa kesenangan badaniyah. Berarti orang-orang yang bersenang-senang adalah pengikut nafs-nya dan tanpa disadari bahwa nafs itu selalu mengajak kepada kejahatan. Makanya terlalu naif bila ingin memperbaiki perilaku alam terhadap manusia hanya menanam kembali pepohonan, sedangkan akhlak manusia tidak diperbaiki dan selalu menikmati kesenangan-kesenangan. Ajakan para Rasul, para suci tidak diindahkan namun ajakan pemimpin dunia diikuti.

Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang mengaku beriman dengan ‘puasa’, atau dengan makna lain adalah perangilah kesenangan-kesenangan badaniyah dan batiniyah, bahkan yang halal pun di haramkan di siang hari. Namun golongan ‘penghibur’ yang mengisi acara-acara di tv tidak peduli dengan perintah ini. Mereka hanya berpantang dari lapar dan haus saja, persis seperti puasanya anak kecil, lalu kesenangannya tidak ditinggalkan, malah mengajak umat di pelosok desa sekalipun untuk bernyanyi dan menari-nari, tak peduli itu waktu berbuka puasa ataupun waktu sahur. Lebih ironis lagi, golongan penghibur ini dijadikan ikon-ikon pemerintahan, badan dunia pun (PBB) memilihnya sebagai duta bangsa. Seorang nenek yang usianya 90 tahun pun berkata : ‘Penghibur kok dijadikan panutan, bahkan bila ia disewa oleh orang buta untuk menari dan menyanyi ia akan melakukannya, selama ia dibayar.’ Pantas bila Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., mengatakan bahwa manusia itu laksana keledai yang bersayapkan malaikat. Barang siapa mengikuti nafs-nya, derajatnya jauh dibawah keledai, meskipun ia bergelimangan dengan harta bendawi dan sanjungan-sanjungan, karena keledai hanya bersuara saat ia lapar dan birahi saja, dan al Qur’an mengatakan bahwa seburuk-buruk suara adalah suara keledai. Sebaliknya barang siapa memerangi nafs-nya, derajatnya melebihi malaikat, kesuciannya tiada tara dan kedekatan dengan Allah SWT tidak berjarak.

Tidak sedikit ulama yang prihatin dengan keadaan ini, dan mencoba menyampaikan nasihat, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Akan tetapi tidak sedikit pula ulama yang justru mengambil manfaat dari para penghibur, mereka melebur walaupun ucapannya tentang ayat-ayat suci dan hadis-hadis shahih, persis seperti keledai yang menggendong al Qur’an. Kehidupan ini menjadi jelas, apakah ia sedang berputar mengikuti arah jarum jam, mengikuti angan-angannya, atau sebaliknya berlawanan dengan arah jarum jam, yang selalu melakukan mawas diri (muhasabah).
Sejarah mencatat, tak satupun penguasa yang berhasil dalam kehidupannya bila hatinya condong kepada penghibur, dan sebaliknya para sultan yang bersahabat dengan para sufi akan memperoleh kejayaan, sebagai contoh pada dinasti Umayyah ada Sultan Umar bin Abdul Aziz,ra., lalu pada dinasti Abbasiyah ada sultan Harun al Rasyid,ra., yang bersahabat dengan para sufi, khususnya kepada Syaikh Fudhail Bin Iyad,ra., lalu sultan Salahuddin al Ayyubi,ra., sang penakluk tentara salib itu, bersahabat dengan Syaikh Ahmad Rifai,ra. Pemimpin tarekat Rifaiyah yang bersahabat pula dengan Sulthonul Auliya Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Jailani,ra., pemimpin tarekat Qodiriyah. Oleh karenannya, bila penguasa tidak ada kemampuan untuk berdekat kepada Allah SWT, maka berdekatlah kepada orang-orang yang dekat dengan Allah SWT, paling tidak dari kedekatan itu para penguasa akan memperoleh barokah-barokah yang lebih berharga daripada semua kekayaan yang ada diatas dunia ini. Namun para penguasa juga harus jeli, karena bila ada ulama yang mengetuk pintu para penguasa, itu adalah ulama palsu, ulama maling, demikian menurut pendapat Syaikh Jafar ash-Shadiq,ra., cicit dari Rasulullah,saw., yang sangat tinggi ilmunya. Oleh sebab itu, penguasa wajib mendatangi ulama, bukan ulama mendatangi penguasa. Seperti makna berputar, jika ia berputar berlawanan dengan arah jarum jam ia akan selamat, sebaliknya bila ia berputar mengikuti arah jarum jam ia akan terjungkal.


Inilah warna warni kehidupan di dunia ini, hakikatnya kejahatan yang dibuat manusia akan disusul dengan gejolaknya alam ini, semakin besar kejahatannya semakin besar pula bencana alamnya. Namun, nyaris tidak ada yang menarik pelajaran dari kejadian dan gerak gerik alam semesta ini, bahkan syaithon pun malu melihat kejahatan manusia masa kini. Sejak zaman dahulu kala hingga kini tidak pernah berubah, selalu saja kesenangan dikedepankan dan agama ditinggallkan, kalaupun ada hanya sebagai hiasan laksana lukisan yang menempel pada dinding rumah. Bersyukurlah bila takdir membawa kepada kehidupan yang penuh kebajikan, yang selalu mawas diri, yang selalu mendawamkan dzikir-dzikirnya (dawamudz dzikiri) dan menegakkan ubudiyahnya (dawamun ubudiyah), serta melakukan perenungan (kontemplasi) ataupun melakukan muroqobah (meditasi) disepanjang kehidupannya sampai matinya. Bila tidak, berdoalah untuk segera dimatikan, itu lebih baik daripada menjadi arang kemarahan alam semesta ini.

Kamis, 03 September 2009

AL-KHAWATIR

Bismillaahir Rhamaanir Rahiim


Pada pengajian Jum’at malam Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Al-khawatir mempunyai pengertian yang berbeda antara para penempuh jalan kesucian dengan orang awam. Awam berpendapat bahwa khawatir adalah hal-hal yang bernada negatif, mencemaskan kejadian dimasa mendatang yang akan berakhir dengan hal-hal buruk, sedangkan yang dimaksud al-khawatir dalam ilmu kesufian adalah bisikan-bisikan jiwa, yang menghujam kedalam rasa. Penekanannya terletak pada pembawanya, bila bisikan-bisikan jiwa itu datangnya dari syaithon disebut was-was, jika muncul dari hawa nafsu disebut hawajis. Dan bila datangnya dari malaikat disebut ilham. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah SWT disebut Khatir Haq atau bisikan kebenaran.’

Dikatakan bahwa, orang yang terlalu banyak makan makanan haram tidak akan bisa membedakan antara ilham dan was-was. Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil. Apabila bisikan itu datangnya dari syaithon, rata-rata mengundang pada kemaksiatan. Begitu pun yang datang dari hawa nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menuruti syahwat.

Imam Junayd,ra., membedakan antara hawajis dengan was-was : ‘Bahwa nafsu itu (hawajis), apabila menuntut anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang meujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi anda. Sementara syaithon (was-was), ketika menjerumuskan anda melalui godaannya, kemudian anda menentangnya, maka syaithon akan kembali mempengaruhi anda dengan godaan lainnya. Sebab secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi syaithon, anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya tidak ada peringanan dalam penjerumusan itu.’

Kisah dibawah ini merupakan bentuk prosa dari puisi Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., yang mendukung ujaran Imam Junayd,ra., yakni : “Seorang wanita miskin dari suku Bedouin mengeluh : ‘Suamiku, sadarkah engkau akan keadaan kita yang makin hari semakin terpuruk? Orang lain menikmati hidup, mereka bahagia, kita menderita, kita sengsara. Apa gunanya berguru kepada seorang Darvish yang tidak bisa memberi apa-apa, dia malah menjadi tanggunganmu. Saya tidak melihat cahaya Allah dalam dirinya, dia hanya mengutip para sufi. Sudah bertahun-tahun kamu mengikuti dia, apa yang kau peroleh? Hidupmu terlewatkan begitu saja, apa untungnya?’
Setelah mendengarkan keluhan istrinya, sang suami menjawab : ‘Untung rugi apa yang sedang kaubicarakan? Apa pun yang kau lakukan hidup ini tetap akan terlewatkan begitu saja. Dengarkan kicauan burung, mereka sedang memuliakan Nama Allah. Hanya kepada Allah mereka berserah diri. Siapa yang memberi makan kepada mereka? Allah Maha Besar, Allah Maha Suci, begitu pula dengan binatang-binatang lain. Keluhanmu berasal dari keinginan-keinginan yang tak terpenuhi, dari hawa nafsu yang tak terkendali. Sebagai manusia, kesadaranmu seharusnya melebihi kesadaran para binatang. Engkau adalah istriku, dan suami istri ibarat sepasang sepatu. Dua-duanya harus berukuran sama. Jika yang satu berukuran lebih kecil atau lebih besar, maka tidak akan nyaman dipakai. Bahkan tidak bisa dipakai.’
Sang istri tambah berang : ‘Apa yang ingin kau buktikan dengan kata-katamu yang muluk itu? Bahwasanya kau sudah berserah diri sepenuhnya? Jujur saja, puaskah engkau dengan keadaan kita saat ini?’
Jawab sang suami : ‘Ya aku puas, aku cukup puas dengan keadaanku. Aku puas dengan kemiskinanku. Harta kekayaan bagaikan sorban, bagaikan penutup kepala yang digunakan oleh mereka yang berkepala botak. Untuk menutupi kebotakan diri, mereka harus bersorban. Kepalaku tidak botak, aku tidak membutuhkan sorban. Aku tidak perlu menutupi kepalaku. Tuhan Maha Tahu dan Dia mengetahui isi hatiku, rasa puas itulah yang ada dalam hati ini. Engkau tidak dapat melihatnya, karena tidak ada kepuasaan dalam dirimu. Ketidak puasan yang kau bicarakan berasal dari dalam dirimu sendiri. Engkau sendiri tidak puas dan berpikir bahwa aku pun tidak puas. Sepertinya sudah tidak ada lagi kecocokan lagi antara kita. Caramu berpikir dan caraku sudah berbeda. Dan kalau memang sudah demikian, lebih baik kita berpisah saja.’
Sang istri menyadari kesalahannya dan sambil menangis ia minta maaf : ‘Aku menyadari kesalahanku, aku memang kurang sabar. Tetapi, suamiku yang kucintai, sesungguhnya selama ini aku hanya memikirkanmu. Aku tidak tega melihatmu dalam keadaan melarat. Aku tidak tega melihat kantongmu kosong. Sekarang, terserah kamu, ikutilah kemauan hatimu. Tetapi jangan sekali-kali berkipikir untuk meninggalkan aku. Jangan! Mendengarkannya saja, aku tidak tahan. Maafkan aku, atau beri aku hukuman, seberat apa pun akan kupikul, tetapi jangan meninggalkan aku.’
Tangisan istri membuat hari sang suami meleleh. ‘Maafkan pula aku, sesungguhnya aku pun bersalah. Selama ini hanya memikirkan diri. Sampai lupa urusan rumah tangga. Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan berpisah darimu. Mulai saat ini, aku akan berusaha, akan mencari nafkah.’
Kisah diatas memperlihatkan bahwa sang istri mewakili bisikan-bisikan jiwa yang datangnya dari hawa nafsu dan syaithon, yang seperti dikatakan Imam Junayd,ra., ia akan terus menempel dan menggunakan segala cara agar seseorang takluk dan mengikuti kemauannya, seperti sang suami walaupun diawalnya ia menolak, tapi pada akhirnya ia terkapar dengan tangisan buaya sang istri.

Jika kisah diatas tentang keburukan al-Khawatir, maka kisah dibawah ini sebaliknya. Nabiyullah Sulaiman,as., setiap paginya mendatangi masjid, setiap melewati pekarangan dan melihat tanaman baru, beliau selalu bertanya, ‘Apa namamu? Dan apa kegunaanmu? Tanaman-tanaman itu selalu menjawab, memberitahu namanya dan kegunaan serta khasiat mereka. Setiap tanaman merupakan obat bagi penyakit tertentu dan sebaliknya merupakan racun bagi penyakit yang lain. Uraian-uraian dari sang Nabi,as., itu dikumpulkan oleh para bijak. Disusun dalam sebuah buku dan menjadi pegangan bagi para akhli pengobatan. Ilmu-ilmu lain, khususnya ilmu tentang ketuhanan juga diturunkan dengan cara yang sama. Bedasarkan ilham yang diterima oleh para nabi. Tidak berdasarkan pikiran, dan tidak bersumber dari panca-indera (jawarih).

Intelek manusia, pikiran manusia tidak dapat menciptakan ilmu. Hanya bisa menerima ilmu. Itu pun bila mendapatkan bimbingan dan pengajaran. Dan yang bisa membimbing dan mengajar hanyalah para penerima ilham. Bahkan ilmu-ilmu yang sangat sederhana pun, seperti cara mengubur jasad diperoleh lewat ilham. Setelah membunuh Habil, Qabil menjadi bingung untuk menyembunyikan jasadnya. Akhirnya ia melihat seekor gagak yang menguburkan gagak mati, dengan kukunya yang panjang ia menggali lubang dan meletakkan jasad temannya didalam lubang. Kemudian lubang itu ditutupi kembali dengan tanah. Demikian manusia belajar menggali liang kubur bagi manusia lain yang sudah mati. Ia yang diberkahi tahu persisi bahwa intelek berasal dari iblis. Seperti Kan’an putra Nabiyullah Nuh,as., ia menolak ajakan ayahnya untuk menaiki kapal, ia menggunakan pikiran dan intelektualitasnya : ‘Untuk apa naik perahu segala? Kalau banjir, aku bisa naik keatas gunung.’ Katanya. Apabila tidak mampu berenang. Kan’an sudah pasti menerima ajakan Nabi Nuh,as. Seperti seorang anak yang masih kecil. Dia belum bisa melakukan apa-apa dan harus bergantung sepenuhnya pada ibunya.
Demikian, seandainya para salik tidak membawa pengetahuan intelektualitasnya dihadapan para Syaikh, niscaya mereka akan dapat mendengarkan dan mengikuti petuah para wali. Petuah yang berasal dari hati, dari ilham. Dan tidak akan bernasib seperti Kan’an yang akhirnya tenggelam ditelan oleh banjir yang teramat besar.

Rabu, 02 September 2009

RUH DAN JIWA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah,saw., bersabda : 'Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.'

Apapun yang diniatkan dan dikehendaki oleh seorang murid, ditangan seorang Syaikh akan menjadi sebaliknya. Seorang Syaikh tidak menginginkan pemberian dari para salik, sebaliknya yang diinginkannya adalah kesiapan diri seorang salik untuk menerima apa yang akan ia berikan. Seperti kisah seorang tua dari desa Bedouin yang senasib dengan pesuruh ratu Bilqis, dua-duanya mengalami wajah yang memerah karena malu, jika pesuruh ratu Bilqis terheran-heran melihat anak tangga tahta Nabiyullah Sulaiman,as., terbuat dari emas murni, padahal dia datang membawa emas batangan untuk dihadiahkan kepada sang Nabi, sedangkan orang tua dari desa Bedouin melihat sungai tigris yang sangat besar dan dipenuhi dengan air yang deras mengalir, padahal dia datang ke Iraq untuk mendapatkan hadiah dari sang Sultan yang akan ditukar dengan kendi yang dibawanya berisi air hujan yang ditampungnya, karena ia berpikiran bahwa di Iraq tidak ada air sama sekali.

Riwayat yang shohih diatas tampak lucu, begitulah sesungguhnya kita semua sebagai salik dihadapan seorang Syaikh. Semua salik merasa telah memberi, padahal seorang Syaikh tidak pernah menerima, justru ia yang memberi. Karena ia telah putus dari ikatan duniawi, bukan emas dan bukan pula air kendi yang ia inginkan, melainkan mendekatkan diri sang salik kepada Tuhan. Bisa jadi, emas dan air laksana ilmu pengetahuan, dan banyak orang berpikiran bawa Tuhan dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, ketahuilah bahwa bagi-Nya, ilmu dan pengetahuan tidak berarti sama sekali.

Jin ifrit menawarkan jasa kepada Nabiyullah Sulaiman,as., untuk memindahkan istana ratu Bilqis, namun beliau menolaknya. Asaf, salah seorang menteri menanggapinya, ‘Dengan Nama Allah, istana itu bisa berada disini dalam sekejap.’ Maka Nabi,as., membiarkan Asaf untuk memindahkan istana itu, tawaran jin ifrit tidak digubrisnya. Milihat istana itu berhasil dipindahkan, sang Nabi bersyukur kepada Allah dan berkata : ‘Hanya orang-orang yang bodoh yang tertarik kepadamu.’ Kemudian Sang Nabi berseru kepada ratu Bilqis : ‘Sadarlah Bilqis, apa arti sebuah istana? Lepaskanlah keterikatanmu dan masuklah kekerajaan Allah.’

Riwayat ini amat elok, jin ifrit mewakili suara-suara seperti nyanyian keruhanian dan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk membersihkan hati, sedangkan Asaf mewakili dzikir-dzikir (jahr dan lathif) untuk membongkar penyakit-penyakit hati. Tentunya gagal, membersihkan hati dengan nyanyian dan ilmu pengetahuan, karena nyanyian dan ilmu pengetahuan laksana ‘pikiran’. Bagaimana bisa ‘pikiran’ memindahkan istana ratu Bilqis? Seseorang dengan ‘pikirannya’ hanya sesaat mampu mengatasi masalah batin, dalam sekejap masalah itu akan kembali lagi. Keberingasan nafs hanya bisa ditundukkan oleh Allah sendiri, dengan Kasih Sayang-Nya, dengan Basmallah. Para syaikh sufi sepakat bahwa metode shahihnya dengan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya (dawamudz dzikri) secara berkesinambungan dan dengan cara-cara tertentu (kaifiat).
Evolusi nafs sungguh sangat dasyat, jika sebuah kamar berisi ruh dan nafs secara bersama-sama, maka ruh akan bertekuk lutut, karena tempat asal ruh bukan di dunia ini, akan tetapi di alam amr (alam perintah). Sedangkan jiwa telah bersatu dengan badan, sehingga unsur-unsur dunia ini, yang berupa air, bumi, angin dan api bersenyawa dengannya. Ego yang ada dipermukaan bisa dihanguskan oleh dzikir jahr, namun lapisan kedua, ketiga dan seterusnya sungguh sangat halus gerakkannya. Oleh sebab itu selain dzikir jahr, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) membekali murid-muridnya dengan dzikir yang lembut, yakni dzikir lathif. Namun jangan pernah lupa, bahwa ada pihak ketiga yang membatu nafs, yakni syaithon yang terlaknat itu, pada awalnya ia akan membisikkan bahwa syaikhmu sungguh hebat, tidak ada seorang pun di dunia ini yang lebih baik darinya. Al hasil sang salik akan meremehkan setiap pembicaraan mengenai agama oleh para da’i, ‘Tidak .. tidak demikian, syaikhku lebih hebat, seharusnya begini dan begitu…’ begitulah gumannya. Hal ini berlangsung lama, seolah-olah membanding-bandingkan para da’i dengan syaikhnya adalah perbuatan baik. Padahal egonya sedang berkibar, perbuatan yang seperti itu membuat Allah SWT murka karenanya, yakni tatkala Iblis berkata ‘Aku lebih baik dari Adam, karena aku terbuat dari api sedangkan ia dari tanah.’ Meskipun demikian para salik akan merasa nyaman dalam peribatannya, ia mempunyai semangat yang luar biasa dalam melaksanakannya. Jika ia sembuh dari penyakit yang awal ini, ia akan tercebur kedalam lautan riya, peribadatannya ingin diketahui oleh orang lain. Lalu merasa bangga dan puas atas peribadatannya selama ini, dan sering memberitakan kepada orang lain bahwa aku adalah orang yang rajin berdzikir. Disini saja, banyak para salik yang tersungkur. Karenanya, ia harus merapat kepada syaikhnya, guna mendapatkan terapi yang tepat untuk mengikis penyakit yang demikian.
Selanjutnya, jika ia telah menerima limpahan ilmu dari dzikir-dzikirnya, dan kesadarannya muncul dengan baik, maka penyakit baru yang sangat dasyat muncul kembali, yakni menilai-nilai kebijaksanaan syaikhnya, ini celaka! Karena penyakit ini sifatnya seperti awan, yang menghalangi cahaya kewalian seorang syaikh hinggap didalam hati sang salik. Dan karena hal ini, syaithon makin getol bercokol didalam hatinya. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain, ia harus mandi didalam lautan kasih sayang Syaikhnya, dan terus menerus berlindung kepada Allah SWT.

Cinta kepada syaikhnya merupakan sayap laron yang membawa para salik terbang menuju cahaya, oleh karenanya semua salik wajib menjaga minyak lenteranya masing-masing, agar tidak pernah redup. Kecintaan seorang salik kepada Syaikhnya yang seperti ini, tidak bisa diterima oleh ulama dzahiran, mereka banyak melayangkan kritik bahwa beragama tidak harus seperti itu. Mereka lupa bahwa di dunia ini merupakan analogi untuk kehidupan mendatang, seperti panas, dingin, gelap, cahaya yang telah dipakai dalam bahasa wahyu Ilahi untuk memberikan gambaran-gambaran tentang kehidupan di alam lain. Bagaimana wahyu dapat mengatakan panasnya api neraka bila manusia belum mengetahui tentang panasnya api di dunia ini. Begitu juga cinta yang meluap seorang salik kepada syaikhnya, bagaimana orang bisa merasakan cinta yang meluap kepada Tuhannya, bilamana dia belum pernah merasakan cinta yang seperti ini? Tugas seorang syaikh sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Ibrahim Bin Adham,qs., ia akan melemparkan jarum kedirian seorang salik kedalam lautan ilmu ketuhanan, yang akan melebur segala ke-ego-annya (jarum usang) dan menggantinya dengan adab yang indah (jarum emas) untuk kehidupan diatas bumi ini, sehingga ia bermanfaat bagi makhluk lainnya dan amal-amalnya bersih mengangkasa, karena ia bertindak, berfikir menggunakan ilmu yang tiada tara tingginya.

Setelah Syaikhuna (semoga allah merahmatinya) membimbing jiwa para muridnya agar bersih dari sifat imarah dan lawamah, maka pekerjaan selanjutnya adalah mewarnai ruh dengan cara meditasi (muroqobah) agar selalu merasa telah berkumpul atau kembali ketempat asalnya (alam amr), agar selalu merasa diawasi dan bersama-sama dengan Tuhannya dimanapun ia berada. Agar Asma-Nya yang mencerminkan Sifat-sifat-Nya melebur kedalam hati sang salik, agar ia ‘tiada’. Begitulah sekelumit tentang evolusi jiwa, semoga ada manfaat bagi para sahabat, dan semoga Allah mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.