Kamis, 06 Agustus 2009

KHALWAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan telah kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. (QS 7 : 142)

Khalwat secara etimologi dapat diartikan menyendiri, lawan kata daripada ‘ngariung’, berkumpul, shohbet, atau shuhbah. Di beberapa daerah di Indonesia, mereka menyebutnya suluk, dan orang yang sedang atau telah mengikuti suluk, disebut salik. Sulit menemukan kitab yang menjelaskan tentang khalwat, dari sekian banyak kitab-kitab tasawuf yang ada, hanya dapat ditemui didalam karya Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi,qs., yang berjudul Awarif al-Maarif. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah mengatakan bahwa bab terakhir dari kitab yang fenomenal ‘Ihya Ulumiddin’ karya Imam al-Ghazali,ra., adalah tentang khalwat, namun inipun karya Guru beliau yang disatukan didalam kitab tersebut, sangat disayangkan, bab khalwat ini tidak lagi dapat ditemukan didalam kitab yang mulia ini, lenyap, entah apa alasanya.

Sebelum masa kenabian kira-kira usia yang mulia Sayyidina Muhammad,saw., menjelang empat puluh tahun, beliau senang menyendiri atau melakukan khalwat ke gua hira di Jabal Nur, jaraknya kira-kira dua mil dari mekah, gua itu tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Sampai saat ini, gua tersebut masih dapat dilihat, jemaah haji dari Indonesia banyak yang menyempatkan diri berziarah ketempat ini. Sejarah mengatakan bahwa di bulan Ramadhan pada tahun ketiga dari masa pengasingan di gua hira, wahyu yang pertama turun. Ini bukti bahwa, beliau berkhalwat dalam kurun waktu yang lama. Juga didalam al-Qur’an dapat dijumpai kisah Nabi Musa,as., yang melakukan khalwat selama tiga puluh hari, lalu Allah SWT menambahnya sepuluh hari lagi, maka genaplah menjadi empat puluh hari lamanya seperti yang termaktub pada ayat diatas. Para Syaikh sufi mengatakan bahwa masa khalwat yang sempurna adalah empat puluh hari lamanya. Kelompok yang mengatakan bahwa khalwat bukan ajaran dari Nabi Muhammad,saw., adalah salah besar! Justru orang-orang yang mengaku dirinya ulama, namun tidak pernah melakukan khalwat, maka pengakuannya mengada-ada dan sia-sia. Karena jalan pintas untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah khalwat atau suluk. Nyaris tidak ada riwayat yang mengisahkan bahwa ketinggian ruhani seseorang, khususnya para syaikh sufi didapat tanpa melakukan khalwat. Jadi khalwat hukumnya wajib bagi orang-orang yang mendambakkan kesucian lahir ataupun batinnya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tidak banyak berguna orang yang bertarekat namun tidak melakukan khalwat, karena ibadah yang sejati ada pada khalwat.’

Mengasingkan diri atau menyendiri untuk sesaat lamanya, sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun harus berhati-hati, banyak riwayat mengatakan bahwa teman daripada orang yang menyendiri adalah syaithoon, oleh karenanya, seseorang harus mempunyai pengetahuan agama yang prima terlebih dahulu. Mengasingkan diri dari khalayak ramai dalam masa yang panjang atau untuk menghabiskan masa tuanya, dalam istilah tasawuf disebut ‘uzlah’, sedangkan memisahkan diri atau menyendiri untuk sementara waktu dari segala sesuatu yang bukan Tuhan adalah ‘Khalwat’. Sikap seseorang yang layak ketika memutuskan untuk beruzlah atau berkhalwat adalah, merasa bahwa masyarakat akan terhindar dari kejahatannya, bukan merasa bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Yang pertama, adalah hasil daripada memandang rendah dirinya sendiri, sedangkan sikap yang kedua adalah merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain. Orang yang memandang dirinya tidak berharga adalah rendah hati, sedangkan orang yang menganggap dirinya lebih berharga ketimbang orang lain adalah takabur. Didalam tradisi tarekat, menyendiri itu harus atas perintah Mursyidnya atau perintah Syaikhnya dan selalu didalam pengawasannya baik lahir atau batinnya. Kira-kira usia muda, yang mulia Syaikhuna pernah meminta izin dari gurunya untuk melakukan khalwat didalam hutan, segala sesuatu perbekalan telah dipersiapkan, namun tidak diperkenankan oleh sang guru. Hal ini menunjukkan bahwa, khalwat adalah pekerjaan khusus, dan diperuntukkan bagi para suci yang memang benar-benar membutuhkan, guna kemajuan spiritualnya, bukan untuk hal lain dan atas kehendak gurunya dan bukan kehendak dirinya sendiri. Pada saat berkhalwat, seorang Syaikh tidak saja menjadi pembimbing dan pengawas bagi para saliknya, melainkan turut serta mengerjakannya dan patuh atas segala sesuatu yang diwajibkan dalam berkhalwat kepada saliknya. Dikatakan, ‘Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barang siapa telah dianugerahai semua ini, berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.’

Hadrat Sayyidi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (semoga Allah mensucikan Ruhnya) berkata : “Menyendiri merupakan sesuatu yang mesti engkau alami. Ketika ajal datang menjemput, semua sahabat dekat akan memutuskan hubungan denganmu, dan semua keluarga akan berpisah darimu. Maka dari itu, berpisahlah dari mereka, dan putuskan hubungan dengan mereka, sebelum mereka meninggalkanmu dalam kesulitan. Kubur akan menjadi jalan kecil menuju Allah SWT., menjadi koridor. Matilah engkau, sebelum engkau mati (mutu qabla antamutu). Matilah terhadap dirimu, dan terhadap mereka, maka engkau akan hidup didalam Dia. Engkau akan menjadi seperti orang mati, yang dimanipulasi oleh tangan takdir, menerima bagiannya dengan sepi ing pamrih.” Dan beliau berkata : “Memegang teguh tauhid adalah menyingkirkan semua makhluk, menjauhkan diri dari pergolakan tabiat untuk menuju alam malaikat, kemudian meninggalkan alam malaikat dan berhubungan dengan Allah SWT.”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Salah satu rukun dalam berkhalwat adalah kemauan yang teguh atau niat yang keras.’ Tanpa bermodalkan kemauan yang membaja sebaiknya jangan coba-coba ikut berkhalwat, bisa jadi seseorang akan berputus asa, karena berkhalwat adalah berpantang dari segala sesuatu selain Allah SWT., Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Khalwat adalah menghadirkan rasa terus menerus seolah-olah menjemput kematian.’ Dan : ‘Khalwat dapat dilakukan selama sepuluh, dua puluh dan empat puluh hari lamanya.’ Rasulullah,saw., bersabda : ‘Barangsiapa (beramal) dengan ikhlas karena Allah selama 40 hari (pagi), niscaya terpancarlah sumber-sumber hikmah dari hatinya kelidahnya.’

Dalam pelaksanaannya, Syaikhuna sering melatih murid-muridnya untuk berkhalwat selama tiga, lima, tujuh hari dan sepuluh hari. Itupan membuat beliau banyak meneteskan airmata, melihat murid-murid masa kini menjadi pucat dan kurus, sering mengeluh dan merintih karena hampir semua persendian merasa ngilu, dan menu makannya sangatlah sederhana. Oleh karenanya, ditengah malam syaikhuna terkadang memberikan bonus berupa ‘teh manis’ kepada para salik, walaupun dibalik ini ada pelajaran yang tersembunyi, adakah kebahagiaan atau penyesalan setelah meminumnya,setelah keberpantangannya luntur? Hal ini akan terpancar dari mata dan jawarih (indera) yang lain, sehingga yang mulia Syaikhuna akan segera mengetahuinya. Seharusnya para salik malu jika sang guru mengambil kebijaksanaan seperti ini. Tekad untuk mendekatkan diri kepada Allah,swt., tidak boleh kendur, jika dirasa lapar, haus, ngantuk, pegal dan linu persendian, jenuh adalah hal biasa, dan memang itulah ujian untuk lahiriyah, sedangkan ujian batiniyah lebih dasyat, berupa cakap-cakap hati, menerawang dunia dan kekhawatiran terhadap keluarga dan perdagangan, sehingga Allah SWT tersingkirkan. Hanya dengan menjaga kondisi-kondisinya saja manfaat khalwat bisa muncul kepermukaan. Allah SWT berfirman : ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. (QS 18 : 110) Para mutashowif menafsirkan ‘amal yang saleh’ adalah berkhalwat dengan cara-cara tertentu.

Seorang murid berkata : ‘Kecil hati ini, gentar bercampur bahagia, tatkala Syaikhuna menunjuk untuk berkhalwat.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Khalwat adalah ibadah yang bermutu tinggi.’ Seorang sahabat menangis, ketika melihat labu yang berukuran kecil, teringat bagaimana indahnya pada saat berkhalwat, labu itu menjadi makanan yang terlezat tiada duanya. Betapa tidak, berbuka dan makan sahur, dengan nasi dan air yang ditakar, nasi sekepal dengan lauknya labu siam yang kecil atau tempe, minumnya air putih kira-kira lima kali teguk. Setiap makanan atau minuman yang masuk kemulut, sebelum ditelan diwajibkan dikunyah atau dikumur-kumur terlebih dahulu selama tiga puluh tiga kali, sambil berdzikir membaca Laa Ilaaha Illallaah. Lamanya berpuasa dua puluh dua jam sehari, karena setelah sholat Isya tidak diperkenankan lagi makan atau minum sampai waktu sahur, kecuali bilah Syaikhuna memperkenankannya. Duduk tidak boleh menyender dan wajib duduk bersimpuh atau bersila serta terus menghadap kiblat. Tidak diperkenankan tidur kecuali bila ngantuk menyerang, dan tidurnya wajib tetap menghadap kiblat dan tanpa alaskan bantal. Tidak diperkenankan bicara dengan manusia baik secara lisan atau isyarat. Harus selalu berdzikir dalam setiap keadaan, dan harus menyelesaikan menu khalwat yang diramu oleh Syaikhuna, disamping menyelesaikan pekerjaan tarekatnya masing-masing. Shalat fardu wajib berjamaah dan berpakaian serba putih.

Seorang murid bertanya : ‘Apa beda bertapa dan khalwat ?’ Syaikhuna menjawab : ‘Bertapa juga berpantang dari dunia, akan tetapi niat dari bertapa bermacam-macam, ada yang ingin kesaktian, kekayaan dan kehormatan sedangkan berkhalwat hanya untuk Allah semata, segala sesuatu yang berkenaan dengan keberpantangan dan ketekunan akan membuahkan hasil, baik itu untuk kejahatan ataupun sebaliknya untuk kebaikan.’ Barang siapa menginginkan hakikat sesuatu agar terungkap dalam berkhalwat dan latihan ruhani , khususnya agar memperoleh keajaiban-keajaiban dan bukan kedekatan kepada Allah SWT, maka yang demikian itu adalah inti daripada penipuan terhadap diri sendiri. Itulah penyebab kejauhan bukannya kedekatan, dan akar daripada keangkuhan. Dalam pensucian dari noda, agar hati cemerlang dan bercahaya, maka mengurangi makan dan minum serta terus menerus dalam berdzikir mempunyai pengaruh yang sempurna. Seorang salik sejati adalah yang tidak dilemahkan oleh keinginan untuk memperoleh berbagai macam keajaiban. Sebab bagi sebagian orang yang melakukan ‘pertapaan’ tanpa pembimbing, apalagi yang tidak berpegang pada tali syariat agama Islam, lalu seolah-olah telah mengalami keajaiban-keajaiban dalam kesendiriannya, maka semakin hari akan semakin sombong dan jauh menyimpang dari jalan keselamatan serta tuli dari mendengar Kalam Allah. Jika keajaiban atau penyingkapan ini jatuh dijalan orang-orang yang benar dan tulus, tanpa mereka mengharapkannya, maka yang demikian ini adalah sebuah berkah yang besar, karena inilah sebab yang memperkuat keyakinan dan meningkatkan amal ibadah.

Didalam delapan prinsip tarekat Naqsyabandiyah dikenal istilah ‘khalwat dar ajuman’ atau menyepi ditengah keramaian. Keadaan ini merupakan buah daripada melakukan khalwat, orang itu akan merasa selalu bersama-sama dengan Tuhanya, walaupun ia berada ditengah-tengah keramaian, atau jasadnya dibumi dan ruhnya berada dilangit, itulah sebaik-baik keadaan.

Suasana menjelang memasuki ruang khalwat sangat ‘mencekam’, diawali dengan mandi sunat, lalu mendengarkan Syaikhuna menyampaikan wejangan, dan berjuta rasa meliputi hati saat beliau mengumandangkan azan, tanda menjemput kematian tiba, isyarat dimulainya keberpantangan dari yang lain kecuali Allah SWT. Biasanya, pada hari ketiga tatkala tubuh mulai gontai, keajaiban mulai mendekat. Phisik sudah melemah, menaiki satu anak tangga bagai seribu anak tangga, berjalan dua puluh meter ke Mas’jid bagai dua ratus kilometer. Keinginan untuk makan sahur dan berbuka sudah tertinggal jatuh kebelakang, yang ada hanyalah makanan keruhanian, yaitu dzikir-dzikir, karena makanan yang hakiki adalah yang didalamnya tidak ada keharaman sama sekali yakni dzikir. Saat mulai lupa terhadap keberadaan, lalu pandangan agak buram dan wajah mulai pucat, maka pikiran menjadi jernih, hati terbuka hanya kepada Allah semata, tafakur (kontemplasi) menjadi-jadi, muroqobah (meditasi) berjalan dengan sendirinya, rasa ‘Hudur Al-Haq’ datang dalam waktu yang lama. Di saat seperti ini, kewaspadaan harus tetap dijaga, kerendahan diri dihadapan Tuhan harus berlaku terus menerus, robithoh (ini yang fundamental) harus dikerjakan secara berkala, agar mendapatkan kekuatan lahir dan batin disamping memperoleh jembatan untuk menyeberangi taman-taman yang indah.

Allah SWT berfirman : ‘Berkata Zakariya, berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung), Allah berfirman : ‘Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbilah di waktu petang dan pagi hari. (QS 3 : 41)Inilah sebuah bukti bahwa barang siapa tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari, lalu diisinya dengan berdzikir hanya kepada Allah SWT maka hikmah akan mengalir kedalam dadanya.

Hakikat berkhalwat ini harus dibawa kedalam kehidupan sehari-hari, jasad ini harus ‘disiksa’ dan jiwa harus diputus dari kesenangan duniawi, agar hati menjadi bening, tidak lagi gaduh seperti suasana pasar. Segala sesuatu yang enak bagi jiwa ini adalah racun bagi hati dan sebaliknya segala sesuatu yang tidak mengenakan bagi jiwa ini adalah kehidupan bagi hati. Jika seseorang sudah dapat memahami keutamaan keberpantangan, maka ia akan meraihnya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemapuannya. Karena sesungguhnya ibadat tidaklah lestari bila masih berkumpul dengan orang banyak, kemesraan akan didapat dalam kesendirian dan hanya berdua-dua-an dengan kekasih tanpa adanya yang lain, oleh karenanya, tidak ada seorang wali atau nabi pun yang tidak mengalami kesendirian baik sebelum ataupun sesudahnya.

Kalau sudah minum air telaga
Malampun terjaga
Diterangi lentera yang terus menyala
Mencari diri yang ditelan dunia

Mata terpejam hati memandang
Beroleh cahaya yang gilang gemilang
Tenggelam di kedalaman samudera nan terang
Dada yang sesak pun menjadi lapang

Terisak-isak, menangis menanggung duka
Menyesali sayap-sayap yang lenyap terbakar dosa
Tinggalah suara kerinduan tanpa daya
Terus berdzikir sampai ‘aku’ lupa

Terombang-ambing ditelan waktu
Seperti orang tolol ditengah-tengah orang bisu
Sesekali kutinggalkan waktu, di belakang atau didepan mataku
Agar hati mampu selalu menghadap, Kepada Dzat yang tak tersentuh waktu

Khalwat adalah obat rasa duka
Diliputi oleh rahasia dalam rahasia-Nya
Perjalanan ini membuatku takjub akan ke Agungan-Nya
Yang terbuka satu persatu karena belas kasih-Nya

Imam Abul Qosim Al Junaid Al Bagdad (semoga Allah meridhoinya) berkata : ‘Barang siapa mengingingkan agamanya sehat dan raga serta jiwanya tentram, lebih baik ia memisahkan diri dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memilih kesendiriannya.’

Imam Al-Qusyairy An-Naisabury (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.